Pada Yohanes 12:1-2 disaksikan Tuhan Yesus diundang dalam suatu perjamuan oleh keluarga Lazarus. Perjamuan tersebut dilatarbelakangi oleh sikap syukur karena Dia telah membangkitkan Lazarus dari kematiannya (Yohanes 11:43-44). Namun, sangat menarik, bahwa yang menyentuh dalam kisah di Yohanes 12 bukanlah kisah keramaian dan kekhususan dari peristiwa perjamuan tersebut. Tetapi, di tengah-tengah keramaian peristiwa perjamuan tersebut, dikisahkan bahwa Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni, membuka tutup botol minyak narwastu tersebut, dan dia meminyaki kaki Tuhan Yesus. Tindakan Maria tersebut tentunya sangat mencengangkan orang-orang yang hadir dalam perjamuan itu, sebab:
- Harga minyak tersebut sangat mahal. Orang-orang harus menabung satu tahun penuh dengan bekerja, barulah ia mampu membeli minyak narwastu.
- Minyak narwastu tersebut ditumpahkan di kaki Tuhan Yesus, sehingga minyak tersebut juga tertumpah ke berbagai tempat.
- Maria menyeka kaki Tuhan Yesus dengan rambutnya. Bagaimana mungkin seorang wanita bersedia menyeka kaki seseorang dengan rambutnya? Bukankah rambut merupakan lambang kehormatan atau mahkota yang membanggakan bagi seorang wanita?
Tuhan Yesus memuji tindakan Maria secara terbuka, karena Maria telah mengungkapkan kasih dan rasa hormat yang begitu dalam. Lukas 7:37-50 menyebutkan bahwa tindakan wanita tersebut karena dia menyesali dosa-dosanya di depan kaki Tuhan Yesus. Di Lukas 7:47, Tuhan Yesus juga berkata, “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih”. Jadi baik Injil Lukas, Matius, Markus, maupun Yohanes sepakat Maria menuangkan minyak ke kaki Tuhan Yesus karena didasari oleh kasihnya yang begitu besar kepadaNya. Manakala seseorang digerakkan oleh kasih yang begitu besar, pastilah dia bersedia melakukan sesuatu yang begitu menakjubkan.
Kesaksian tentang Maria yang penuh kasih dan sangat menyentuh hati, mengingatkan kita juga kepada bangunan Taj Mahal di Agra, India. Bangunan Taj Mahal merupakan ekspresi atau ungkapan cinta seorang suami, Sultan Shah Jahan, yang begitu mengasihi istrinya, Mumtaz Mahal, yang telah meninggal pada tahun 1631. Taj Mahal mulai dibangun tahun 1632-1643. Namun seluruh bangunan di sekitar Taj Mahal baru diselesaikan tahun 1653. Jadi untuk membangun Taj Mahal seluruhnya membutuhkan waktu 21 tahun lamanya!
Maria dan Sultan Shah Jahan memiliki kesamaan untuk memberikan sesuatu yang agung kepada orang yang dikasihinya. Hanya bedanya, Maria mengungkapkan kasih kepada Tuhan Yesus sebagai Mesiasnya dengan minyak narwastu. Sedangkan Shah Jahan mengungkapkan cintanya yang mendalam kepada mendiang istrinya dengan mendirikan bangunan Taj Mahal yang begitu megah di dunia.
Wujud dari kasih yang agung senantiasa mengandung suatu ide yang unik, menyentuh hati, mengesankan dan senantiasa dikenang secara kekal. Wujud dari kasih senantiasa melampaui pola berpikir ekonomis. Maksudnya, tindakan kasih yang tulus tidak pernah mendasarkan kemampuan finansial sebagai tolok ukur yang menentukan. Namun, di balik tindakan yang terkesan “tidak hemat” tersebut terungkaplah makna spiritualitas, ungkapan kasih, ketulusan hati dan pengorbanan diri yang sangat dalam.
Sebaliknya, tokoh Yudas Iskariot dalam Yohanes 12 cenderung untuk melihat segala sesuatu dari sudut ekonomis dan manusiawi terhadap orang-orang miskin. Injil Yohanes memberi catatan, “Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kasih yang dipegangnya” (Yohanes 12:6). Di sini kita dapat melihat perbedaan paradigma dari tindakan Maria yang mengasihi Kristus dengan pengorbanan yang melampaui ukuran ekonomi dan paradigma Yudas yang cenderung berpikir serba ekonomis dan melihat segala sesuatu dari manfaatnya. Kedua paradigma tersebut sering bertemu di dalam kenyataan hidup sehari-hari apakah di dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, pelayanan di tengah jemaat dan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Paradigma profit tersebut juga meresapi pola pelayanan gerejawi. Apabila pelayanan tersebut menghasilkan suatu manfaat secara ekonomi, misal dengan biaya sedikit namun menghasilkan keuntungan besar, pastilah kita akan mendukung program tersebut. Namun, ketika kita dimotivasi untuk belajar memberi yang terbaik kepada Tuhan, tidak semua orang percaya tergerak untuk ambil bagian secara tulus. Bahkan terdapat kecenderungan bagaimana agar kita sebisa mungkin hanya memberi sehemat mungkin, toh tidak ada orang yang tahu ketika kita menyerahkan persembahan di tengah-tengah suatu kebaktian.
Di suatu desa Perancis setiap tahun dilaksanakan suatu festival anggur. Untuk itu setiap orang diminta untuk membawa 1 liter air anggur dan air anggur tersebut akan dikumpulkan dalam suatu tempayan besar, lalu seluruh penduduk akan minum bersama-sama sebagai tanda sukacita. Tetapi, ketika walikota membuka tempayan itu, sungguh mengejutkan karena ternyata isinya hanyalah air. Hal ini terjadi karena setiap orang berpikir bahwa mereka tidak akan ketahuan kalau hanya membawa air, siapa tahu orang-orang lain akan membawa anggur. Tetapi ternyata yang membawa anggur tidak ada. Sebab mereka pada umumnya terlalu sayang menyerahkan air anggurnya.
Paradigma serba ekonomis sering merusak suasana, bahkan merusak sukacita dan hubungan antar umat manusia. Sebab paradigma serba ekonomis mendorong orang-orang yang terlibat untuk saling mencurigai, menyudutkan, dan mendiskreditkan orang lain. Dalam hal ini Yudas Iskariot secara tidak langsung telah mendiskreditkan tindakan Maria, ketika ia berkata, “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” (Yohanes 12:5). Dengan ungkapan ini, sepertinya Yudas mau mengatakan bahwa betapa tololnya Maria membuang-buang minyak yang sangat mahal hanya dipakai untuk menyeka kaki Yesus.
Manakala kita bersedia meneladani Maria dengan menjadikan seluruh hidup kita bagaikan minyak narwastu yang tertumpah di kaki Tuhan Yesus, maka pastilah kehidupan dan pelayanan kita akan menghasilkan sesuatu yang harum dan senantiasa mempermuliakan nama Tuhan. Persembahan diri yang demikian tentunya menjadi cermin dari keharuman kasih, sehingga persembahan hidup kita menjadi suatu persembahan yang harum di hadapan Tuhan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar