Natal: Saat untuk Memberi atau Menerima?
Submitted by setyawati on Fri, 18/11/2011 - 07:00
Salah satu hal yang saya coba ajarkan kepada
anak-anak saya adalah bagaimana menjadi "pemberi" bukan "penerima". Saya
mengajarkan hal ini kepada mereka karena saya tahu betapa perlunya
menumbuhkan sifat itu. Natal adalah saat yang luar biasa untuk
menekankan perihal memberi. Selama bertahun-tahun, kami telah mencoba
untuk melakukannya dengan cara praktis dengan membuat kue-kue Natal
untuk orang lain, mengumpulkan mainan-mainan dan pakaian-pakaian lama
dengan sukarela, dan membuat serta mengirimkan bingkisan bagi
keluarga-keluarga yang kekurangan di komunitas kami. Ini benar-benar
saat yang tepat untuk memberi. Namun, hari ini saya diingatkan kembali
bahwa Natal barangkali hanya sedikit memberi tetapi justru lebih banyak
menerima.
Secara umum, tampaknya menerima itu mudah dan memberi
itu sulit. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku bila hal ini muncul dalam
hubungan kita dengan Allah. Secara alamiah, kita ingin memberikan
sesuatu kepada Allah untuk membuat-Nya berkesan dan membuat Dia merasa
senang terhadap kita. Seolah-olah ada keinginan kecil di dalam kita
untuk memiliki Allah di sisi kita dengan melakukan sesuatu bagi Dia.
Jika kita memberikan waktu kita, uang kita, kado kita untuk Dia, maka
Dia akan tersenyum pada kita. Demikian juga halny, pada saat Natal, Anda
melihat orang-orang secara sukarela pergi ke tempat-tempat umum dan
memasukkan uang di kotak amal yang disediakan oleh Bala Keselamatan
(komunitas Kristen) dengan rasa senang karena perbuatan mereka itu, dan
berpikir bahwa Allah juga merasa senang dengan perbuatan mereka. Jangan
salah sangka! Ini semua memang baik, tetapi apakah ini yang benar-benar
Allah inginkan dari kita Natal ini?
Dalam Mazmur 50:12-14, Allah berfirman,
"Jika Aku lapar, tidak usah Kukatakan kepadamu, sebab punya-Kulah dunia dan segala isinya. Daging lembu jantankah Aku makan, atau darah kambing jantankah Aku minum? Persembahkanlah syukur sebagai korban kepada Allah dan bayarlah nazarmu kepada Yang Mahatinggi!"
Dalam konteks ayat ini, kita melihat bahwa Israel
memberikan kepada Allah suatu kurban yang Dia minta menurut Perjanjian
Lama. Sesungguhnya Allah tidak marah karena mereka mempersembahkan
kurban itu kepada-Nya. Dia memang memerintahkannya demikian.
Bagaimanapun juga, kurban persembahan tersebut menunjuk pada sebuah dan
satu-satunya pengurbanan yang akan datang kemudian. Pengurbanan ini
diberikan oleh Allah sendiri -- yaitu Putera-Nya, Yesus. Meskipun
demikian, tampaknya Allah mencela umat-Nya karena hal lain. Apa itu?
Sejak awal mula peradaban, manusia telah jatuh ke
dalam kebohongan yang mengatakan bahwa kepercayaan adalah jalan manusia
untuk mencapai Allah dan bukan Allah yang datang kepada manusia. Seperti
bangsa Israel, kita merasa bahwa Allah memerlukan hadiah-hadiah dan
kurban-kurban kita. Namun, Allah tidak terkesan dengan apa yang kita
berikan kepada-Nya. Dia tidak bergantung pada hal-hal ini, karena
kepercayaan yang sejati bukanlah memberikan sesuatu kepada Allah.
Pemberian kurban persembahan adalah respons kita kepada Allah dengan
ucapan syukur atas anugerah yang telah Dia berikan bagi kita. Hal ini
tentang menerima dari Allah, bukan memberi bagi Allah.
Pada Natal ini saya ingin mengajarkan kepada
anak-anak saya untuk menjadi pemberi. Walaupun begitu, saya juga ingin
mengajarkan kepada mereka untuk menjadi penerima. Saya ingin mereka
menerima anugerah yang Allah berikan kepada mereka di dalam Injil. Saya
ingin mereka menerima Raja yang bersedia turun ke dunia bagi mereka,
sehingga mereka tidak perlu menggapai-Nya. Saya ingin mereka menerima
Yesus lebih dari apa pun. Saya menginginkan hal ini bagi mereka dan bagi
Anda, berdasarkan janji dalam Yohanes 1:12-13:
"Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar