Natal dan Kesepian
Submitted by admin on Tue, 29/11/2011 - 14:52
Suasana Natal sudah menebar di segenap tempat.
Mall dan beberapa gedung semarak oleh hiasan Natal. Beberapa penjual
mengadakan obral dengan tema Natal. Di beberapa tempat penjualan
pelayannya memakai topi mirip Santa Klaus. Banyak hal dikaitkan dengan
Natal meski sebetulnya ada kesan pemaksaan. Natal memang hari besar bagi
umat Kristen, meski sebetulnya yang terpenting bagi iman umat adalah
Paskah, sebab tanpa kebangkitan sia-sialah pengurbanan Yesus. Namun gema
Natal jauh lebih berkumandang meriah dibandingkan Paskah.
Beberapa orang mengajakku untuk membagikan nasi
bungkus pada malam Natal. Mereka ingin berbagi kasih kepada orang
miskin, sehingga orang miskin pun dapat merayakan Natal. Tawaran itu
kutolak dengan halus sebab aku kurang suka dengan aktifitas semacam itu.
Entah mengapa pada tahun-tahun terakhir kegiatan itu semakin marak dan
beberapa orang menceritakannya dengan penuh kebanggaan. Apakah nasi
bungkus sudah mampu membahagiakan orang miskin yang tertidur di tepi
jalan? Apakah anak-anak jalanan dan tukang becak yang menerima nasi
bungkus sudah merasakan makna kehadiran Yesus di dunia?
Aku pernah mengalami beberapa kali Natal yang
membuatku bergolak. Salah satunya adalah ketika aku masih SMA.
Keluargaku bukanlah orang Kristen. Maka aku berangkat ke gereja untuk
merayakan Natal sendirian. Sepulang dari gereja aku tidak tahu harus
merayakan Natal dengan siapa, sebab hampir semua temanku bukan orang
Kristen juga. Beberapa teman Gereja sudah mempunyai acara dengan
keluarga atau teman yang lain. Ketika di dalam gereja aku merasakan
kemeriahan Natal, tapi begitu keluar dari gereja semua kemeriahan itu
sirna. Aku merasa sepi dan sendiri. Aku membayangkan kalau sampai rumah
pasti semua keluargaku sudah tidur. Disana juga tidak ada secuilpun
hiasan Natal.
Dalam pikiranku mulai bertanya apakah aku sekarang
sedang merayakan Natal? Sambil menyusuri jalan yang telah lengang, aku
membayangkan bahwa mungkin beginilah rasanya ketika Yosep dan Maria
menyusuri jalanan menuju Betlehem. Sepi dan tidak ada orang yang mau
membukakan pintu untuk menerimanya. Kesepian dan ketidakberkawanan
inilah mungkin suasana Natal yang sesungguhnya, meski sekarang semua
sudah berubah. Natal penuh dengan keramaian dan kemeriahan. Akulah orang
yang sedang merayakan Natal, kata hatiku untuk menghibur diri.
Natal bukanlah saat untuk membuat sebuah kemeriahan
dan keramaian, sebab dengan demikian Natal telah dihilangkan dari
kenyataannya saat itu. Segala pesta dan kemeriahan telah menghilangkan
rasa sepi dan ketidakberkawanan Yosep dan Maria. Kita tidak lagi diajak
merasakan keterasingan dan ketiadaan harapan. Mungkin kita dapat saja
berpendapat bahwa kelahiran Yesus perlu dirayakan, sebab Natal adalah
tanda keselamatan sudah datang. Kita bersuka cita menerima kedatangan
Yesus. Tapi apakah kita sudah menerima Yesus dalam hidup kita? Apakah
kita sudah membuka hati untuk Yesus? Bila kita telah menerima Yesus
dalam hidup kita, maka kehidupan kita akan berubah. “tetapi bukan lagi
aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan
hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman
dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk
aku (Gal 2:20). Bila kita siap untuk membuka diri terhadap Yesus apakah
kita juga sudah membuka diri terhadap orang-orang yang kesepian dan
tidak berkawan? Saat ini masih banyak Yesus yang kesepian dan kesulitan
untuk menemukan pintu yang terbuka bagi DiriNya dan banyak orang bersuka
cita mengenang Yesus yang lahir dalam kesepian dan ketidakberkawanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar