Like dan Love
Submitted by admin on Sun, 01/02/2004 - 00:00Edisi C3I: e-Konsel 056 - Pacaran Secara Kristen
Dalam bahasa Inggris, kata "to like" berarti menyukai sedangkan kata
"to love" berarti mengasihi. Sekarang apa perbedaan mendasar antara dua
kata ini dalam hal memilih pasangan hidup? Menurut saya, menyukai
mengacu pada kesenangan pribadi yakni menginginkan seseorang karena ia
baik untuk kita dan menyenangkan hati kita. Sebaliknya, mengasihi
merujuk kepada memberikan diri untuk seseorang.
Cara lain untuk membedakannya ialah, menyukai hanya meminta kita menjadi
pengamat, sedangkan mengasihi mengharuskan kita menjadi pelaku.
Misalnya, kita menyukai mainan, kendaraan, dan rumah, tetapi kita
mengasihi adik, orangtua serta istri kita. Mainan dan kendaraan
bertujuan untuk menyenangkan atau memudahkan kehidupan kita tanpa kita
harus terlibat di dalamnya (menjadi bagian dari mainan atau mobil itu).
Mengasihi keluarga menuntut kita untuk terlibat di dalamnya (menjadi
bagian dari kehidupan mereka); dengan kata lain, kita mesti menjadi
pelaku, bukan sekedar pengamat yang mencicipi kenikmatan objek tersebut.
Adakalanya kita dibingungkan dengan kata "suka" dengan "cinta". Tidak
bisa disangkal, pada tahap awal pertemuan, rasa suka akan mendominasi
hubungan kasih kita. Kita menyukai wajahnya, cara bicaranya, tertawa
renyahnya, kelembutannya, kepemimpinannya, atau wibawanya. Namun
seyogianya rasa suka ini bertumbuh menjadi rasa cinta yakni kerelaan
untuk memberi yang terbaik dari diri kita demi yang terbaik untuknya.
Jika metamorfosis ini tidak terjadi, maka kita pun akan terlibat dalam
suatu relasi yang kerdil dan dangkal. Kita akan berhenti pada peran
pengamat yang hanya menikmati tontonannya dengan penuh kekaguman. Yang
lebih berbahaya lagi, kita akan menuntutnya untuk bersikap dan melakukan
hal-hal yang dapat terus melestarikan kenikmatan dan kekaguman kita
terhadapnya.
Berbeda dengan suka, kasih masih
menyisakan benih-benih kekaguman tanpa membuat kita terpukau kaku dan
pasif. Kasih melibatkan kita dalam hidupnya sebagai pelaku yang rela
mengotorkan tangan, bukan sekedar sebagai penonton yang disenangkan oleh
pertunjukkan yang indah.
Kasih bertanya, "Apa
yang dapat kuberikan?", sedangkan suka bertanya, "Apa yang dapat kau
berikan?". Saya kira istilah C.S. Lewis, "need-love", mencerminkan
definisi menyukai yang telah saya jabarkan. Menurut Lewis, "need-love"
merupakan kasih yang keluar dari kebutuhan dan berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan itu. Dengan kata lain, kita memilihnya menjadi istri
atau suami karena ia akan dapat memberikan yang kita butuhkan. C.S.
Lewis tetap menyebutnya, kasih, tetapi saya cenderung memanggilnya,
suka.
Sekali lagi saya tegaskan bahwa suka pada
dasarnya sesuatu yang alamiah dan bersifat netral. Rasa suka merupakan
bagian awal dari rangkaian pertumbuhan relasi di mana pada puncaknya,
kasihlah yang mencuat dengan indahnya. Problem muncul tatkala benih suka
tetap tinggal sebagai biji suka dan tidak pernah bertumbuh menjadi
pohon kasih. Pernikahan yang seperti ini akan ditandai dengan dua nada:
frustasi dan kejam.
Kita merasa frustasi karena
kita mengalami delusi sebab ternyata yang kita harapkan tidak menjadi
kenyataan. Kita terbangun dari mimpi dan melihat rupa pasangan kita yang
sebenarnya -- ternyata dia bukan pangeran yang mengherankan kita. Dia
tidak memberikan yang kita butuhkan bahkan kitalah yang harus mengisi
kebutuhannya.
Kita juga bisa berubah kejam. Kita
dapat terus menghujamnya dengan tuntutan demi tuntutan secara
bertubi-tubi dan membabi buta. Kita tidak mau tahu akan realitas sebab
kita merasa terpedaya dan terperangkap. Kita menganggap bahwa ia
berhutang pemberian kepada kita. Kita menjadi kejam karena ternyata
tontonan itu tidak menarik sama sekali. Rasa suka pun berubah menjadi
benci.
Kembali kepada konsep "need-love" yang
diutarakan C.S. Lewis, ternyata hubungan kasih memang sarat dengan
kebutuhan, misalnya kebutuhan untuk dikasihi, dihargai, dan keamanan.
Ternyata pemilihan pasangan hidup juga tidak terlepas dari penentuan
akan siapa yang kira-kira dapat memenuhi kebutuhan kita itu. Kita tidak
memilih siapa saja; kita memilih dia yang berpotensi atau yang kita duga
akan sanggup mencukupi kebutuhan kita. Selama kebutuhan itu tidak
terlalu besar, biasanya hubungan nikah akan dapat berjalan langgeng.
Namun jika kebutuhan itu terlalu menggunung, konflik pasti akan meletus.
Kesimpulannya adalah, sadarilah kebutuhan yang kita miliki itu dan
akuilah harapan yang terkandung di dalam hati kita. Komunikasikanlah
harapan itu kepada pasangan kita dan carilah jalan tengah agar kebutuhan
itu dapat dipenuhinya tanpa harus terlalu melelahkannya. Semakin dini
kita menyadari dan mengkomunikasikannya, semakin besar kemungkinan kita
menyelamatkan pernikahan kita kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar