Selasa, 28 Januari 2014

ORANG ORANG BAIK BERMUNCULAN SAAT BENCANA BANJIR

Ia tidak mau menyebut nama. Juga tempatnya bekerja. Ia hanya mengatakan jenis pekerjaannya: servis hape dan komputer. Ketika panitia mengatakan identitas penyumbang diperlukan sebagai tertib administrasi, ia hanya menjawab tulis saja 'hamba Allah'.
Si hamba Allah yang satu ini hampir setiap terjadi banjir besar di Jakarta seperti sekarang ini selalu menyiapkan 100 nasi bungkus per hari untuk para pengungsi. Isterinya yang memasak. Menjelang makan siang atau malam, bapak dua anak ini pulang ke rumah. Dengan mengendari motor, ia dan isterinya lalu mengantarkan makanan itu ke lokasi pengungsian. Didahului survei pribadi, ia mengarahkan bantuan nasi bungkus itu ke lokasi-lokasi pengungsi yang sangat membutuhkan. Lokasi pengungsian yang jarang tersentuh oleh lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan.
Suami-istri di atas hanyalah contoh dari hamba-hamba Allah yang muncul tatkala dibutuhkan, seperti ketika datang banjir besar di Jakarta saat ini. Mereka tergerak membantu sudara-saudaranya tanpa pamrih. Ikhlas. Senyap. Mereka langsung menolong para pengungsi tanpa bertanya agama, suku, golongan, dan partai. Membantu ya membantu, titik, tanpa embel-embel lain.
Para hamba Allah yang mempunyai solidaritas tinggi itu juga tampak misalnya di Lokasi Pengungsian Korban Banjir di Masjid Attahiriyah, Kampung Melayu, Tebet, Jakarta Selatan. Masyarakat di bantaran Kali Ciliwung sepertinya sudah tahu kalau ingin mengungsi ya di Masjid Attahiriyah. Biasanya begitu banjir besar tiba dan rumah mulai terendam, mereka langsung mengungsi. 
Secepat itu pula para anggota takmir (pengurus) masjid dan sebagian keluarganya siap menjadi panitia dan sekaligus relawan. Relawan berarti tidak dibayar. Relawan berarti tidak mengambil serupiah pun dari bantuan pengungsi untuk kepentingan pribadi dan apalagi kepentingan keluarga.
Berhari-hari dan bermalam-malam panitia relawan ini siap membantu sepanjang masih ada pengungsi. Makan dan minum pun bersama mereka. Para pengurus masjid (panitia) itu minimal harus menyiapkan makan untuk para pengungsi sehari tiga kali. Hingga pada Jumat (24/1) lalu jumlah pengungsi mencapai 3400 orang lebih dari sekitar 800 KK (kepala keluarga), termasuk puluhan bayi dan anak-anak. Pada malam hari jumlah itu bisa bertambah.
Yang paling repot biasanya pada hari pertama. Untuk menyediakan makan, para pengurus mengandalkan pada keluarga besar Attahiriyah. Pada hari kedua dan seterusnya berbagai bantuan pun mulai berdatangan. Para penyumbang, donatur, atau apa pun namanya yang merelakan sebagian hartanya untuk membantu para pengungsi berasal dari berbagai kalangan. Ada dari instansi/perusahaan swasta BUMN, organisasi, yayasan, perguruan tinggi, sekolah, masjid, majelis taklim, gereja, dan sebagainya.
Namun, sumbangan lebih banyak justeru datang dari perseorangan. Ada anak-anak sekolah, mahasiswa, ibu-ibu pengajian, karyawan, dan orang-orang biasa seperti 'hamba Allah' yang tersebut di awal tulisan ini. Bahkan banyak pula suami-isteri yang datang lengkap dengan keluarga mereka. Tampaknya musibah banjir justeru dimanfaatkan oleh para orang tua untuk menumbuhkan jiwa kepedulian dan kemanusiaan kepada anak-anak mereka.
Melihat nama-nama yang terdata, bisa diketahui para penyumbang datang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Baik suku, ras, maupun agama. Musibah banjir, dengan begitu, telah menyatukan masyarakat Indonesia tanpa melihat perbedaan identitas dan status sosial. Mereka yang beruntung membantu yang kurang beruntung. Yang mampu menyumbang mereka yang kekurangan.
Pemandangan seperti yang tampak di lokasi penampungan banjir di Masjid Attahiriyah tentu bisa dijumpai di banyak tempat lain di Jakarta atau bahkan di Indonesia. Entah itu di masjid, gereja, ataupun di gedung-gedung dan balai pertemuan.
Lalu di manakah peran pemerintah? Untuk kasus di Masjid Attahiriyah, gerak aparat pemerintahan Pak Gubernur Joko Widodo dan Pak Wakil Gubernur Basuki Cahya Purnama jelas tak setanggap, secepat, dan segesit para relawan yang muncul dari tengah masyarakat. Aparat pemerintah memang tak perlu menjadi relawan yang sanggup bekerja sepanjang hari dan malam selama berhari-hari mendampingi para pengungsi.
Meskipun, yang namanya aparat pemerintah itu adalah pegawai negeri alias abdi negara. Merekalah yang seharusnya melayani masyarakat. Mereka digaji dari uang negara yang dikumpulkan antara lain dari pajak yang dibayar rakyat, termasuk oleh para pengungsi.
Yang diperlukan dari aparat pemerintah adalah bekerja sama, berkoordinasi, dan membantu panitia di lokasi-lokasi pengungsian untuk menyediakan kebutuhan dasar para pengungsi. Misalnya, menyiapkan genset apabila listrik PLN mati, mendirikan dapur-dapur umum, menyediakan MCK (mandi, cuci,  kakus/toilet), membuat posko-posko kesehatan, membersihkan kotoran di sekitar lokasi pengungsian dan seterusnya. Sayangnya hal itu kurang atau tak dilakukan. Para aparat di bawah baru kelihatan sibuk apabila mengetahui atasannya mau berkunjung ke lokasi pengungsian.
Setali tiga uang juga terjadi pada para pejabat negara, entah itu menteri atau gubernur. Ketika mengunjungi pengungsi, sang pejabat biasanya -- sambil membawa bantuan -- langsung menemui pengungsi. Secara simbolik mereka lalu menyerahkan bantuan, tentu sambil mejeng untuk dipotret para wartawan. Padahal bantuan yang mereka bawa belum tentu dibutuhkan oleh para pengungsi karena yang paling tahu kebutuhan mereka tentu saja para relawan/panitia. Jangan-jangan kunjungan para pejabat itu benar hanya untuk pencitraan dan konsumsi media. Hanya basa-basi.
Lalu di mana pula para calon presiden dan calon wakil rakyat yang dalam kampanye dan iklan-iklan di media ingin mengabdi dan melayani rakyat? Mengapa ketika rakyat sedang terkena musibah banjir dan membutuhkan bantuan, mereka tidak hadir di tengah mereka untuk mengabdi? Bukankah mereka sebenarnya bisa, misalnya, membuat dapur-dapur umum di setiap lokasi pengungsian? Atau menggerakkan tim relawan pemenangannya untuk membersihkan sampah-sampah dari para pengungsi? Apakah janji mereka hanya tinggal janji, sementara rakyat dipersilakan bergerak sendiri-sendiri? Bukankah mengabdi kepada bangsa dan negara tidak perlu menunggu setelah berkuasa?
Jangan-jangan Indonesia ini memang negeri autopilot. Negeri yang tak membutuhkan pemimpin. Rakyat dipersilakan berjuang menyelesaikan persoalannya secara mandiri. Sedangkan para pejabat negeri hanya sibuk dengan kekuasaan yang dibiayai uang rakyat negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar